Dari Mitologi Menjadi Tradisi
“menjaga trtadisi masyarakat jawa
(ungkalan) dalam modernisasi”
* M Khoirul Amin dan
Khoirotul Munawaroh
Email: khoirul.amin.jbr@gmail.com
Abstrak:
Mitologi berasal dari bahasa inggris
yang berarti mytology dan bahasa
prancis mythologie yang bermakna
kumpulan-kumpulan mitos yang berasal dari sumber yang sama, atau yang pokok
ceritanya sama; studi tentang mitos.
Mitos adalah sebuah cerita anonim yang
berakar dari masyarakat primitif. Apabila pada awalnya mitos diartikan debagai
imajinasi yang sederhana dan primitif untuk menyusun suatu cerita, maka dalam pengertian moderen mitos adalah
struktur cerita itu sendiri. Mitos sebagai cerita yang memiliki struktur yang
berarti mitos dibagun oleh satuan-satuan minimal yang bermakna. Satuan minimal
yang membangun struktur cerita mitologis sehingga struktur itu sendiri
mngandung makna atau nilai nilai.
Baik nilai dalam konteks agama,
pendidikan maupun sosial. Seperti halnya tradisi masyarakat ungkalan yang tiap
tahun dan setiap acara-acara khusus keluarga mereka mengadakan slametan atau
ruatan. Hal ini akan menjadi pembahasan yang sangat panjang dan banyak
menandung nilai-nilai dalam budaya tersebut, kalau kita mau menggali lebih
dalam lagi.
Pada dasarnya, adanya tradisi atau
budaya orang jawa itu lahir bukan karena kekosongan warga masyarakat sendiri.
Akan tetapi budaya atau tradisi itu lahir karena adanya mitologi atau
cerita-cerita rakyat yang bersifat mistis. Sehingga masyarakat sekitar meyakini
dan mengekpresikan dari gagasan yang lahir dari mitologi tersebut dalam bentuk
upacara adat maupun tradisi yang lainnya.
Dalam dunia modernisasi tradisi dianggap
sebagai kepercayaan yang kolot jadul atau ketinggalan jaman. Anggapan-anggapan
seperti ini perlu kita tepis jauh-jauh semasih tradisi itu memiliki nilai-nilai
yan gluhur dan patut diperjuangkan. Hal ini, bisa jadi kurangnya tanggapan dan
pengakuan dari orang-orang yang memang berwenang. Seperti pemerintah dan mentri
yang sesuai dengan bidangnya. Jika ini terlaksana, pastinya tidak menuntut
kemungkinan tradisi orang jawa tidak akan terkikis dengan adanya perubahan
jaman.
Untuk menanggapi atau merespon dengan
datangnya arus globalisasi agar budaya atau tradisi tidak luntur dengan
sendirinya. Maka sangat perlu ditanamkan yang namanya pembangunan jati diri;pemahaman falsafah budaya;penerbitan peraturan
daerah; serta pemanfaatan teknologi informasi dengan baik.
Kata
kunci : mitos, tradisi, nilai-nilai,
modernisasi.
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Mitologi berasal dari bahasa inggris yang
berarti mytology dan bahasa prancis mythologie yang bermakna
kumpulan-kumpulan mitos yang berasal dari sumber yang sama, atau yang pokok
ceritanya sama; studi tentang mitos.
Mitos dalam pengertian tradisional
memiliki kesejahteraan dengan fabel dan legenda. Akan tetapi mitos dalam bahasa
moderen memiliki hubungan dengan masa lampau, sebagai cerita primordial dan
arketipe [1].
Mitos adalah sebuah cerita anonim yang berakar dari masyarakat primitif.
Apabila pada awalnya mitos diartikan debagai imajinasi yang sederhana dan
primitif untuk menyusun suatu cerita,
maka dalam pengertian moderen mitos adalah struktur cerita itu sendiri.
Mitos sebagai cerita yang memiliki struktur yang berarti mitos dibagun oleh
satuan-satuan minimal yang bermakna. Satuan minimal yang membangun struktur
cerita mitologis sehingga struktur itu sendiri mngandung makna.
Makna-makna yang dimaksud dalam budaya
bukan makna yang bisa kita simpulkan dengan mudah. Makna dalam budaya bukan
merupakan makna baik dan buruk. Akan tetapi makna yang mengandung arti
keseimbangan dan sosial dalam bermasyarakat. Atau bisadikatakan makna yang
luhur, tidak memandang agama maupun yang lainnya. Sehingga, keantengan dalam
berbudaya sangat indah dalam mata masyarakat.
Sebuah
kebiasaan yang lahir dari individu dan masyarakat dapat membentuk tatanan
kelakuan. Tatanan kelakukan yang dilakukan secara terus menerus akan menjadi
budaya. Meleburnya ketiga hal tersebut (kebiasaan, kelakuan, dan budaya)
melahirkan satu tatanan lagi yang disebut dengan kesepakatan.
Berbagai bentuk kebiasaan masyarakat,
secara mudah, dapat ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari, baik yang
dilakukan oleh individu maupun kelompok. Hal ini dilakukan oleh masyarakat
terkait dengan perannya sebagai makhluk sosial. Salah satu bentuk kebiasaan
masyarakat tersebut adalah kebiasaan berbahasa dan berkomunikasi. Berbahasa dan
berkomunikasi merupakan dua aktivitas yang saling berkaitan.
Berkaitan dengan aktivitas berbahasa dan
berkomunikasi tersebut, jika seorang, dua orang, atau beberapa orang
berkomunikasi (melakukan aktivitas pertuturan), mereka secara langsung dan
sengaja telah membawa suatu misi atau pesan yang signifikan. Mereka telah
mempertukarkan tanda-tanda untuk membagi makna-makna.[2]
Begitu juga dengan munculnya tradisi ini tidak lepas dari pengaruh para tokoh
yang ada dalam wilayah tersebut. Baik secara makna maupun secara tindakan
keseharian masyarakat tersebut.
Dalam suatu negara pastinya tidak bisa
kita pungkiri banyak pelbagai mitos atau cerita-cerita mistis terkait dengan
tradisi atau adat dalam suatu negara tersebut. Akan tetapi, pastinya da;am
negara indonesia ini yang memiliki paling banyak budaya maupun tradisi dalam
hal apapun. Baik dalam bahasa, kebiasaan, suku, ras, agama dan lain sebagainya. Bisa dikatakan indonesia
adalah negara yang memiliki banyak budaya (multikultural).
Di daerah ungkalan yang bertepatan
diwilayah kabupaten jember propinsi jawa timur. Masih kental akan tradisi yang berbau
mistis atau cerita-cerita yang memiliki ruh atau kehidupan. Sehingga hal ini
menjadi sebuah kepercayaan bagi masyarakat disana. Bahkan hingga saat ini
tradisi ini masih harum dipermukaan masyarakat ungkalan.
Banyak hal yang ada dalam masyarakat
ungkalan. Diantaranya seperti tradisi lesan seperti: buaya putih, hutan angker,
hewan keramat, dan danyang, fenomena-fenomena orang hilang atau penunggu desa
tersebut. Sehingga membuat masyarakat untuk mengapresisasikan mistis tersebut
menjadi sebuah upacara adat (jawa= slametan atau ruatan) untuk menghibur agar
desa diberi ketenangan atau keseimbangan. Hal ini pernah menjadi pertanyaan
kepada informan kami [3],
mbah kenapa harus ada upacara adat mbah, seperti ruatan-ruatan desa maupun
ruatan wayang dan santri. Beliau menjawab untuk keharmonisan, keselamatan atau
keseimbangan dalam bermasyarakat.
Dalam sebuah perbedaan, bukan hanya
perbedaan dalam bentuk budaya saja. Akan tetapi perbedaan dalam beragama,
ideologi, maupun perbedaan dalam berpikir. Hal ini yang menjadikan perbedaan
lahir dan perbedaan ini yang melahirkan sebuah keharmonisan dalam
bermasyarakat. Dalam catatan perbedaan yang saling menghargai satu sama
lainnya.
Begitu juga dalam tubuh masyarakat
ungkalan ada tiga pola pikir dalam menanggapi mitos atau tradisi lesan
tersebut. Pertama: agama islam murni,
artinya orangn ini hanya berpedoman atau berpola pikir murni keislaman, dalam
artian tidak bisa dimasuki oleh tradisi yang ada diluar islam; kedua: kejawen, artinya bagian
masyarakat ini terlalu kental dalam adat jawanya atau tradisi nenek moyang yang
telah diwariskan kepada mereka dan tidak mau meninggalkan apa-apa yang telah di
berikan, bahkan mendahulukan adat daripada agama; ketiga: islam kejawen artinya golongan masyarakat ini adalah
masyarakat yang tidak meninggalkan hukum-hukum islam dan tidak meninggalkan
tradisi atau adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Suatu fenomena yang terjadi di ungkalan
adalah fenomena upacara adat. Pada awalnya upacara adat yang ada di ungkalan
adalah ruatan desa dan ruat wayang,
ruatan ini dilakukan pada malam hari. Suatu ketika dengan datangnya ustat nur
selaku tokoh agama dalam desa tersebut maka ruatan ini ditambahi dengan ruatan
santri. Ustat nur beranggapan bahwa, ruatan wayang dan desa sudah agak keluar
dari hukum islam serta ada hal yang tidak memiliki subtansi. Contoh kecil:
membuang-buang makanan berdoa kepada selai tuhan dan lain sebagainya. Sehingga
dengan datangnya ustat nur ruatan ini di desain dengan sebaik mungkin agar
tidak bertentangan dengan agama serta tidak mengganggu keseimbangan sosial yang
ada di desa ungkalan tersebut.
Hubungan antara mitos dan realitas itu
sangat dekat, bergantung pada cara pandang seseorang. Manusia itu hidup dengan
mitos-mitos yang membatasi segala tindak tanduknya. Ketakutan dan keberanian
terhadap sesuatu di tentukan oleh mitos yang ada disekelilingnya. Banyak hal yang sukar dipercayai dapat
berlaku penganutnya mempercayai sebuah mitos. Dan ketakutan manusia akan
sesuatu lebih disebabkan ketakutan akan suatu mitos, bukan ketakutan yang
sebenarnya.
Mitos bagi masyarakat primitif merupakan
suatu sejarah kudus yang terjadi pada suatu permulaan yang menyingkap tentang
aktivitas supranaturalhingga saat ini. Namun, mitos penciptaannya tidak
mengantarkan kepada sebab pertama atau dasar eksistensi manusia, melainkan
sebagai jaminan eksistensinya. Berkaitan dengan aktivitas yang supranatural
mitos dianggap sebagai yang benar, suci dan bermakna, serta menjadi pedoman
harga bagi yang mempercayai dari linkungan tempat tinggalnya.
Demikian realitas mitos jawa diwujudkan
melalui bentuk upacara ritual.
Pengulangan kembali mitos dalam upacara-upacara ritual samahalnya menghidupkan
kembali mitos atau dimensi kudus pada waktu permulaan. Sehingga bagi masyarakat
jawa, mengetahui mitos adalah suatu yang penting karena mitos tidak hanya
mengandung tafsiran tentang dunia dengan segala isinya dan contoh model tentang
keberadaanya di dunia, tetapi mereka harus mengulangi apa yang telah tuhan dan
alam supranatural kerjakan pada waktu permulaan. Jadi, jelaslah mitos bukan
merupakan pemikiran intelektual dan logika, melainkan lebih orientasi
sepiritual dan mental untuk berhubungan dengan sang ilahi.
Hal ini bisa dikatakan bahwa mitstis,
budaya, sosial dan empiris tidak bisa kita pisahkan meski bisa di bedakan. Itu
semua sudah mendarah daging dan menjadi ruh dalam jiwa masyarakat indonesia
terutama mayarakat ungkalan dan masyarakat
primitif lainnya. Sehingga yang menjadikan bangsa indonesia adalah bangsa yang
kaya akan budayanya.
Dalam pembahasan kali ini peneliti semakin
tertarik terkait dengan mitos yang telah di manifestasi dalam bentuk
budaya-budaya atau tradisi yang sekarang ini masih kental di daerah ungkalan
tersebut. Meskipun dalam hal ini kita sudah memasuki zaman moderen, yang sudah
banyak mengenal perkembangan. Baik perkembangan dari teknologi, budaya, sosial,
pendidikan dan lain sebagainya.
B.
Rumusan masalah
Dari berbagai pendapat dan litelatur
diatas, peneliti ingin lebih dalam lagi dalam membahas terkai dengan mitologi
yang ada di ungkalan, diantaranya:
1.
Mitos apa saja yang ada di
daerah ungkalan?
2.
Macam-macam ruatan dan
tradisi ungkalan?
3.
Apa nilai-nilai yang
terkandung dalam tradisi ungkalan?
4.
Bagaimana tradisi ungkalan
dalam modernisasi?
5.
Bagaimana strategi dalam
menghadapi globalisasi?
C.
Tujuan penulisan
Penulisan kali ini adalah bertujuan untuk menjawab dari
permasalahan atau fenomena yang memang menjadi tanda tanya besar bagi kita.
1. mengetahui apa saja yang ada di daerah ungkalan
2. Mengetahui Macam-macam ruatan dan tradisi ungkalan
3. Mengetahui dan paham akan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi
ungkalan
4. Mengetahui tradisi ungkalan
dalam modernisasi
5. Mengetahui dan paham terkait strategi dalam menghadapi
globalisasi
D.
Metode penelitian
1.
Pendekatan dan
jenis penelitian
Pendekatan yang digunakan
oleh peneliti dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial
yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam
kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya
dan dalam peristilahannya.[4]
Sedangkan jenis
penelitian ini adalah berbentuk penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian
yang diupayakan untuk mengamati permasalahan secara sistematis dan akurat
mengenai fakta dan sifat obyek tertentu. Penelitian deskriptif bertujuan untuk
memaparkan, menggambarkan, dan memetakan fakta-fakta berdasarkan cara pandang
atau kerangka berfikir tertentu. Metode ini berusaha menggambarkan dan
menginterprestasikan kondisi, pendapat yang berkembang, proses yang sedang
berlangsung, efek yang terjadi, atau kecenderungan yang tengah berkembang.[5]
Penelitian kualitatif
deskriptif merupakan suatu jenis penelitian yang mempunyai karakteristik
lebih tertarik menelaah fenomena-fenomena sosial dan budaya dalam suasana yang
berlangsung secara ilmiah.
Kualitatif deskriptif
ini digunakan dengan beberapa pertimbangan, yaitu (1), lebih mudah apabila
menghadapi kenyataan ganda. (2), menyajikan secara langsung hakikat hubungan
peneliti dengan responden. (3), lebih peka dan lebih mudah
menyesuaikan diri dengan penajaman pengaruh terhadap pola-pola nilai yang
dihadapi. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif.
2.
Lokasi
penelitian
Lokasi penelitian
adalah ruang lingkup penelitian atau batasan ruang penelitian. Adapu lokasi penelitian
ini mengambil ruang lingkup desa ungkalan, yang bertepatan di daerah hutan
sabrang, kec: ambulu.
3.
Subyek
penelitian
Subyek penelitian
adalah sasaran yang dijadikan penelitian oleh penelitian. Peneliti mengambil
obyek penelitian dengan cara pengambilan teknik purposive sampling adalah teknik
pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tersebut
adalah sumber data dianggap paling tahu
tentang apa yang diharapkan atau sumber data tersebut adalah orang yang berkuasa
atau orang yang berpengaruh dalam tataran masyarakat. sehingga memudahkan
peneliti menjalajahi obyek/situasi sosial yang diteliti.[6]
Dalam artian tidak seluruh masyarakat ungkalan dijadikan penelitian (sample).
a.
Kepala desa
ungkalan
b.
Tokoh-tkoh di
daerah ungkalan
c.
Sebagian
masyarakat unkalan
E.
Teknik
pengumpulan data
Pada tahapan ini
peneliti memperoleh dan mengumpulkan informasi secara lebih mendetail dan
mendalam berdasarkan pada fokus penelitian. Pengumpulan data dilakukan mulai
pagi sampai malam hari atau hari-hari tertentu. Proses pengumpulan data
dilakukan dengan beberapa teknik sebagai berikut:
a.
Observasi
Observasi atau yang
disebut pula dengan pengamatan, meliputi kegiatan pemusatan perhatian
terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh indra [7].
Untuk menggali informasi dengan mengamati gejala-gejala atau kondisi sosial
yang ada.
Ada beberapa manfaat
menggunakan metode observasi yaitu pertama
obervasi atau pengamatan adalah berdasarkan pengalaman, yang mana pengalaman
langsung merupakan alat yang ampuh untuk menguji sebuah kebenaran. Kedua dengan pengamatan, memungkinkan
melihat dan mengamati sendiri kemudian
mencatat prilaku dan kejadian sebagaimana terjadi pada keadan yang sebenarnya[8].
Maka untuk mendukung
penelitian ini, peneliti menggunakan metode observasi dalam memperoleh
data-data diantaranya :
1)
Untuk
mengetahui secara langsung situasi dan kondisi lokasi penelitian.
2)
Untuk
mengetahui secara langsung aktifitas Mahasiswa atau kader dalam waktu tertentu.
3)
Untuk
mengetahui secara langsung gejala-gejala dalam sosial organisasi
b.
Interview
Metode interview
dikenal dengan tehnik wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan
maksud tertentu oleh dua pihak, yaitu pewancara ( interview ) sebagai
pengaju/pemberi pertanyaan dan yang diwawancarai sebagai pemberi jawaban.
Penelitian ini
menggunakan teknik wawancara tak terstruktur, karena dengan metode ini peneliti
lebih luwes dan leluasa dalam menyampaikan pertanyaan tentang
bagaimana pandangan, sikap, keyakinan, dan keterangan lainnya. Subyek diberi
kebebasan dalam menguraikan jawabannya serta mengungkapkan pandangannya sendiri
tanpa harus dipaksakan. Pertanyaannya bervariasi dalam beberapa format:
aplikasinya, isi, urutan pertanyaan[9].
c.
Dokumentasi
Dokumen merupakan
catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk
tulisan, gambaran atau karya-karya monumental dari seseorang[10].
Dokumen ini digunakan dalam penelitian dalam banyak hal, dokumen sebagai sumber
data yang dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan terhadap realitas yang
di teliti.
Kaitannya dengan
penelitian ini peneliti berusaha mencari arsip-arsip yang dibutuhkan serta
memotret lokasi kegiatan yang ada di ungkalan. Hal ini yang menjadi kesulitan
bagi peneliti terkai dengan arsip-arsip, dikarenakan waktu dalam penelitiaan
ini sangat singkat. Maka dari itu kami mengambil data yang sekiranya kami bisa
menempuhnya dan tidak banyak mengeluarkan waktu yang sangat banyak dan menyita
kegiatan yang lainnya (urgen).
F.
Analisis data
Analisa data kualitatif adalah upaya yang di lakukan dengan jalan bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat di kelola, memestikannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting[11].
Dalam penelitian
ini digunakan teknik analisa data kualitatif-deskriptif yaitu suatu analisa yang menggambarkan
fenomena-fenomena secara obyektif yang terdapat diobyek penelitian, selanjutnya
dianalisis dengan mendialogkan data teoritik dan empirik secara bolak-balik dan
kritis (bukan angka)[12].
Dengan demikian analisis kualitatif-deskriptif
adalah kombinasi antara cara berfikir yang bersifat umum menjadi khusus
dan berfikir yang bersifat khusus menjadi
umum atau mendialogkan data teoritik dan data empirik.
Tahap-tahap analisa data yang digunakan adalah mereduksi data, penyajian data,
dan menarik kesimpulan (verifikasi).
1.
Mereduksi data
Reduksi data merupakan
proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan transportasi data
yang muncul dari catatan tertulis dilapangan. Oleh karea itu data perlu disusun
kedalam tema atau pokok permasalahan. Hal ini dilakukan setelah data yang
diperoleh dari hasil observasi, wawancara tentang peran dan strategi pengembangan
sumberdaya manusia. Reduksi data berlangsung bersamaan dengan proses
pengumpulan data. Hal ini mengeingat reduksi bisa terjadi secar berulang, jika
ditemukan ketidak cocokan antara data, sehingga perlu dilakukan pengecekan
kembali.
2.
Penyajian data
Data yang sudah di
sederhanakan selanjutnya disajikan dengan cara disajikan dalam bentuk
paparan data secara naratif.
Data disini merupakan data yang masih dalam bentuk sementara atau mentah untuk
keperluan peneliti dalam rangka pemeriksaan lebih lanjut secara cermat sehingga
diperoleh tingkat keabsahannya.
3.
Penarikan
kesimpulan
Penarikan kesimpulan
dilakukan terhadap temuan penelitian. Kesimpulan atau verifikasi dalakukan
secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung, yaitu sejak awal
memasuki proses penelitian dan selama proses pengumpulan data. Peneliti
berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang
dikumpulkan dengan cara mencari pola, gejala, hubungan persamaan, hal-hal yang
sering timbul dituangkan dalam kesimpulan yang bersifat tentatif. Dengan
ditambahnya data melalui proses verifikasi secara terus menerus akan menemukan
kesimpulan yang bersifat menyeluruh. Dengan demikian setiap kesimpulan
senantiasa terus dilakukan verifikasi selama penelitian berlangsung.
Adapun model interaksi
analisa data sebagai berikut: pengumpulan data, reduksi
data, penarikan kesimpulan dan penarikan sementara, penarikan kesimpulan akhir,
verifikasi[13].
G.
Keabsahan data
Keabsahan data yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi. Trianggulasi adalah teknik pengumpulan
data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan
sumber data yang telah ada[14].
Teknik triangulasi
dibedakan menjadi empat sebagi teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan
sumber, metode, penyidik dan teori. Trianggulasi dengan
metode di gunakan untuk pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil
penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan
beberapa sumber data dengan metode yang sama. Trianggulasi dengan teori
merupakan berdasarkan anggapan bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajat
kepercayaannya dengan satu atau lebih teori. Trianggulasi dengan sumber
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang
diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif[15].
Adapun teknik
triangulasi yang digunakan yaitu teknik trianggulasi dengan sumber. Triangulasi
sumber adalah membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode
kualitatif.
Hal ini dapat dicapai
dengan jalan di antaranya:
1.
Membandingkan
data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara;
2.
Membandingkan
apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara
pribadi;
3.
Membandingkan
apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang
dikatakannya sepanjang waktu;
4.
Membandingkan
keadaan dan persepektif seseorang dengang berbagai pendapat dan pandangan orang
lain;
5.
Membandingkan
hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan[16].
Dari hasil
perbandingan ini diharapkan dapat menyatukan persepsi atas data yang diperoleh.
Disamping itu perbandingan ini akan memperjelas bagi peneliti tentang latar
belakang perbedaan persepsi tersebut.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
A.
Historis Dusun Ungkalan
Pada awalnya, sebelum membahas terkait
dengan mitos maupun tradisi yang ada di ungkalan. Trlebih dahulu kita mengetahui
sejarah dari desa tersebut, agar kita tidak lupa dengan akarnya. Dahulu kala,
warga ungkalan sebelum menjadi satu dalam satu desa ini mereka hidup
terpencar-pencar, ada yang hidup atau menetap di Sumber Bulus, Canga Indah dan
diberbagai tempat lainnya, mereka belum satu dusun seperti ini. Dari beberapa
litelatur dan cerita yang didapatkan mereka (masyarakat) banyak yang bermukim
di seberang gunung karena pada waktu itu banyak wabah malaria yang menyerang
mereka dan menyebabkan banyak warga meninggal. Kemudian sebagian masyarakat
membabat dusun ungkalan ini dan mengajak seluruh masyarakat yang ada di sana
untuk pindah, dan berkas seperti perkampungan seperti bata, genting dan yang
lainnya sampai saat ini masih ada.[17]
Pada awalnya dusun ungkalan ini dibabat
oleh mbah Ponimin. Beliau berasal dari
ponorogo tepatnya di tegal sari dan istrinya yang bernama buk Mojinem yang
berasal dari kota Pare kabupaten Kediri. Menurut cerita mbah subur[18],
mbah ponimin masuk di daerah ungkalan pada tahun 1935 namun hanya sebatas
menjalankan tugas dan pada tahun 1938 beliau membabat dan baru pada tahun 1942
resmi menjadi desa atau sebuah perkampungan kecil. Kemudian setelah semakin
meluas dan semakin banyak penduduknya, maka dibabatlah sambirejo pada tahun
1947/1948, selain itu mbah ponimin
merupakan mandor pertamakali di perhutani.
Ada pertanyaan yang mendasar bagi kami
terkait dengan dusun ungkalan ini. Mengapa dusun ini dinamakan dusun ungkalan,?
Ungkalan ini berasal dari kata ungkal yang artinya nama ungkal ini merupakan
sejenis batu yang biasanya di uat alat asah untuk benda tajam atau besi,
seperti; pisau, cangkul, arit, garu dan lain sebagainya. Di daerah ini terdapat
sebuah bukit atau gumuk ungkal, akan tetapi pada awalnya namanya bukan bukit
ungkal melainkan gumuk macan. Gumuk ini dulu sering di kunjungi oleh
orang-orang luar daerah untuk mengambil batunya. Sebagaimana batu tersebut
dijual dan digunakan untuk mengasah pisau dan semacamnya. Lambat laun, gumuk
ini berubah menjadi gumuk batu ungkal, kemudian dengan bahasa sederhana dan
pengaruh dari gumuk tersebut yang batunya banyak dimanfaatkan oleh orang untuk
mrngasah daerah ini menjadi daerah ungkalan.
Pada dasarnya, daerah ungkalan ini bukan
hanya ada satu gumuk saja atau bukit. Daerah ini banyak bukit dan gunung.
Bahkan bisa dikatakan daerah ini dikelilingi gunuing dan bukit. Diantaranya
bukit bokong semar, nama bukit ini diambil karena secara fisik bukit ini ketika
dilihat dari kejauhan terlihat seperti bokongnya semar, semar ini seperti tokoh
yang ada dalam cerita perwayangan. Maka dari itu bukit ini dnamakan sesuai
dengan bentuk dari bukit tersebut yakni bukit bokong semar.
Ada juga bukit yang namanya bukit menggeh.
Bukit ini terletak di baratnya desa. Bukit ini dinamakan bukit menggeh karena
anggapan warga sekitar masyarakat ungkalan bahwasannya ketika melewati bukit
ini kondisi fisik dan nafasnya yang melewati meti merasakan lelah atau
terngah-ngah (menggeh-menggeh=jawa)[19].
Ketika kita pahami, memang secara umumnya ketika kita melewati dataran tinggi,
apalagi jalannya yang berpasir pasti kita merasakan kelelahan dan napas kita
tidak beraturan. Sehingga, dengan anggapan ini masyarakat menamakan bukit ini
dengan sebutan bukit menggeh.
Di daerah ungkalan ini banyak menyimpan
hal-hal yang berbau mistis. Seperti kejadian yang dialami oleh pak priadi[20]
sendiri yang katanya hilang selama seminggu dibawa oleh mahluk halus ktika
beliau sedang mencari rumput di hutan petak tujubelas. Dan ceritanya
tetangganya pak priadi yang pernah ditakut takuti oleh mahluk halus, beliau
ketika mau jalan jalan di bukit menggeh pernah ditarik kakinya atau diseret
kakinya oleh mahluk halus, rumahnya teletak di timurnya rumah pak priadi. Dan
masih banyak lagi hal-hal yang bersejarah dan mengandung mistis di daerh
ungkalan ini.
Begitu juga dengan ceritakan oleh bu
pojok, terkait fenomena maupun kondisi sosial masyarakat ungkalan. Baik dalam
hal mistis, rasional maupun empiris. Bu wati adalah orang pedatang dari gumuk
mas atau daerah mengen. Beliau pindah ke ungkalan sekitar tahun 1986 bersama
suaminya, pada waktu itu masih kepemimpinan pak soekarno presiden RI. Bu wati
menceritakan pada masa mudanya di ungkalan, bu wati juga menemui tragedi PKI
pada waktu itu, pembunuhan-pembunuhan. Mendengar ceritanya bu pojok “pada waktu
itu nak, saya dengan keluarga saya sedang di dalam kamar, pasti kalau malam
sebelum mobilnya orang PKI lewat kami tidak bisa tidur, dan tidurnya kami di
atas lantai, karena kami tidak berani tidur diatas kasur (amben : jawa), pada
waktu itu ada salah satu keluarga perempuan saya yang ngantuk berat, tidak
terasa tertidur(kesirep : jawa), tidak lama kemudian dengan rasa takut dan
kaget karena mobil orang PKI lewat depan rumah kami(bu pojok) saudara perempuan
kami yang tadi langsung ngompol, karena sangking takutnya”[21].
Bersamaan dengan itu, menurut sebagian
penduduk yang lain dusun ungkalan dihuni pendudk pribumi sebagai tempat
persembunyian antek-antek komunis dan puncaknya pada tahun 1965 terjadi
pembantaian besar-besaran oleh tentara nasional indonesia terhadap antek-antek
partai komunis indonesia yang sering disebut atau terkenal dengan istilah G30S
PKI. Di ungkalan mayoritas penduduknya yang saat ini merupakan generasi kedua,
ketiga, dan keempat dari antek-antek partai komunis indonesia tersebut.
Beberapa penduduk seperti pak jumiran, menceritakan bahwa orangtuanya dibantai
karena dituduh antek PKI pada waktu itu. Penduduk asli ungkalan menyebut
peristiwa tersebut dengan istilah Gestapo.
B.
Kondisi geografis
Secara geografis ungkalan adalah sebuah
dusun yang terletak di desa sabrang kecamatan ambulu kabupaten jember yang
teletak di daerah hutan sabrang. Letak dusun ungkalan dekat dengan desa
sumberjo sekitar 100 meter yang hanya dipisah dengan sungai mayang. Akan tetapi
secara administrasi ungkalan ini masuk desa sabrang karena bergandengan dengan
hutan sabrang yang luasnya sekitat 3000 hektar[22].
Masyarakat ungkalan menyebut dusun
ungkalan menjadi dua daerah, yaitu ungkalan dan sambirejo. Daerah ungkalan
disebut dengan kidul ban (selatan rel
lori), sedangkan sambirejo disebut dengan daerah lor ban (utara rel lori), penyebutan ini berdasarkan atas sejarah
pada mulanya di daerah ini terbentang rel kereta untuk mengangkut kayu menuju
ambulu pada masa belanda[23].
Akan tetapi, baik daerah ungkalan (lor ban) maupun sambirejo (kidol
ban) secara administrasi masuk di wilayah dusun ungkalan. Setelah indonesia
merdeka pada tanggal 17 agustus 1945 pemerintah mulai merevisi beberapa hal
yang sebelumnya diberlakukan oleh belanda dan jepang, termasuk pengaturan mengenai
pertanahan (agrarische wet).
Sehingga, pada tahun 1960 pemerintah memberlakukan Undang-undang pokok agraria
(UUPA) UU no.5 tahun 1960.
Setelah di tetapkannya UU agraria, mulai
ada penertiban mengenai kebijakan agraria secara nasional meliputi segala hal
tentang pertahanan. Kawasan hutan mulai dikelola oleh negara. Pada tahun 1979
perhutani mulai menertibkan kawasan ungkalan dan memberi kebijakan bahwa warga
yang rumahnya berjauhan agar saling merapat. Hingga tahu ini warganya lebih
dari 1700 kepala, pada tahun 2013 terdapat 1704 kepala. Secara otomatis pada
tahun ini warganya semakin meningkat atau bertambah.
C.
Kondisi masyarakat ungkalan
Kondisi sosial merupakan sebuah situasi
atau keadaan yang ada di dalam masyarakat ungkalan tersebut. Baik dalam hal
sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Hal ini akan sedikit
kami pisah-pisahkan dari kondisi sosial yang lainny, agar tidak tercampur aduk
dengan yang lain.
1) Kondisi sosial masyarakat
Sekilas mengamati kondisi sosial masyarakat ungkalan,
mayoritas disana adalah berbahasa jawa, ada yang berbahasa madura tapi sangat
sedikit sekali. Masyarakat ungkalan merupakan masyarakat asli yang berkelahiran
di ungkalan sendiri. Meskipun disana banyak pendatang dari luar. Seperti halnya
bu wati, beliau aslinya orang luar kota, kemudian bu wati menikah dengan orang
asli ungkalan dan menetap di ungkalan, beliau pindah pada tahun 1986.
Daerah ungkalan memang jauh dari pusat keramaiaan, bahkan
sinyal HP sangat sulit disana. Ketika sebagian warga ingin keluar atau mencari
hiburan terutama pemuda-pemuda ungkalan, mereka harus melewati hutan-hutan yang
sangat panjang kurang lebih 500 meter dari pemukiman warga untuk menuju
keramaian (alun-alun ambulu) atau kota jember.
2) Kondisi sosial beragama masyarakat
Kata ustad nur[24],
mayoritas agama warga disini adalah agama islam. Meskipun islam nya hanya formalitas,
dalam artian islam KTP sebutannya islam, akan tetapi tidak melakukan perintah
agama atau rukun islam. Di ungkalan juga ada yang beragama islam akan tetapi
tidak satu ideologi dengan islam NU. Bisa dikatakan masyarakat disini masih
terlalu awa.
Hal ini terbukti dengan sebagian aktivitas warga ungkalan.
Ketika kami sedikit melihat dengan melihat, jalan-jalan ada juga yang
memelihara anjing, babi dan ada juga yang meminum minuman keras. Akan tetapi
hal ini sebagian kecil dari warga ungkalan.
3) Kondisi sosial pendidikan masyarakan
Kondisi sosial pendidikan masyarakat ungkalan adalah sangat
minim sekali[25]. Mayoritas warga ungkalan
yang sudah berkeluarga hanya tamatan SD dan SMP ada yang SMA akan tetapi sangat
sedikit. Bahkan ada yang sudah sarjana, tapi hanya satu dan sampai sekarang ini
mengajar di SDN 2 ungkalan sendiri, yakni pak Imam beliau tamatan atau alaumni
IAIN jember.
Akan teapi di ungkalan juga sudah ada satu lagi yang masih
berproses di bangku perkuliahan. Yakni anaknya bu simah, dia sekarang kuliah di
jurusan kedokteran di kota malang, meskipun kondisi ekonomi bu simah juga tidak
terlalu banyak.
Sedangkan pemuda yang ada disana banyak yang putus sekolah.
Putus sekolah ini banyak faktor yang mempengaruhi mereka sehingga putus
sekolah. Sepertihalnya; kurangnya motivasi dari keluarga, minimnya ekonomi dan
lain sebagainya. Akan tetapi, warga ungkalan percaya dengan pondok pesantren
bisa dikatakan fanatik dengan pondok pesantren, sehingga banyak warga yang
memondokkan anaknya, terutama anak perempuannya, lantas mereka tidak percaya
dengan eksistensi hadirnya pendidikan formal.
Di ungkalan juga ada lembaga pendidikan formal SD dan
pendidikan taman kanak-kanak yang lokasinya berhadap-hadapan. Dahulu pernah mau
didirikan lembaga pendidikan formal SMP, akan tetapi sama warga masyarakat
tidak di setujui, karena lokasi pendirian lembaga tersebut mengorbankan
lapangan yang dijadikan lokasi kegiatan masyarakat ungkalan. Seperti, acara
ruatan desa maupun tempat nongkrong pemuda-pemuda. Karena disisi lain di
lapangan ini banyak sinnyal HP, sehingga dengan kondisi yang demikian
menjadikan pemuda-pemuda untuk berkumpul atau nongkrong di lapangan bersama teman-temannya.
Ketidak ingingan masyarakat bukan karena berdirinya SMP atau
MTS tersebut, akan tetapi karena lapangan yang sebagai lokalisasi acara-acara
masyarakat dijadikan korban. Jika MTS tersebut didirikan di lapangan maka warga
tidak bisa menjalankan tradisinya atau menghilangkan tradisi dengan sendirinya
karena kesulitan lokasi.
4) Kondisi sosial ekonomi masyarkat
Kondisi sosial ekonomi masyarakat ungkalan adalah bentuk
matapencaharian atau pekerjaan masyarakat
ungkalan. Pada umumnya pekerjaan warga ungkalan adalah petani dan buruh
petani. Dan ada juga yang pekerjaannya mencari rumput untuk makanan ternak
dalam artian mencarikan rumput sebagian warga ungkalan sendiri. Selain itu ada
juga yang berdagang seperti bu wati yang membuka toko di depan rumahnya. Akan
tetapi pekerjaan ini sedikit di ungkalan.
Bahkan ada yang merantau di luar kota hingga di luar jawa.
Seperti bu simah, selaku ibu rumah tangga beliau rela untuk bekerja di
Malaisiya menjadi buruh disana untuk membiayai penddikan anaknya yang kuliah di
perawat di malang.
Ketika kami sekilas berbincang-bincang dengan pak Misnadi[26]
selain kami menanyakan tentang ruatan dan mitos atau cerita-cerita mistis di
desa, kami juga menanyakan kondisi ekonomi di ungkalan. Kata beliau mayoritas
masyarakat disini adalah pekerjaannya adalah petani dan buruh. Dan pada saat
ini para petani menanam semangka di ladang. Pak misnadi juga mengatakan terkait
hasil panen dari ladang tersebut, ketika panen para petani biasanya
menghasilkan kurang lebih 10-15 juta per-panen. Dan panennya semangka atau buah
buahan disana sangat cepat, bisa 2-2,5 bulan sudah bisa dipanen.
D.
Pengertian mitos dan tradisi atau budaya
1)
Mitos
Pada dasarnya, pola pikir masyarakat
terkait dengan mitos yang bersifat mistis mereka sama-sama meyakini atau
mempercayai dengan adanya hal mistis. Begitu juga dengan perkataannya mbah
sadik[27]
bahwasannya pada initinya mahluk halus itu mesti ada dan keberadaanya itu
sebenarnya sama dengan manusia, akan tetapi mereka tidak tampak. Seperti dengan
adanya cerita buaya putih, danyang, dan mahluk halus yang membawa manusia ke
alam jin.
Istilah mitos berasal dari Bahasa Yunani
mythos yang berarti cerita dewata, dongeng terjadinya bumi dengan segala
isinya. Mitos juga diartikan sebagai perihal dewata, kejadian bumi dan isinya,
cerita kepercayaan pada dunia gaib[28].
Mitos adalah cerita-cerita anonim mengenai
asal mula alam semesta dan nasib serta tujuan hidup, penjelasan-penjelasan
bersifat mendidik yang diberikan oleh suatu masyarakat kepada anak-anak mereka
mengenai dunia, tingkah laku manusia, citra alam, dan tujuan hidup manusia.
Mitos bersifat sosial berkaitan dengan keberadaan mitos itu sendiri. Mitos
adalah milik masyarakat, diciptakan oleh masyarakat dan hidup di tengah
lingkungan masyarakat. Mitos bersifat komunal dan anonim berarti bersifat bahwa
keberadaan mitos diakui oleh masyarakat pendukungnya dan menjadi tuntunan,
pencipta (pengarang) mitos tersebut tidak diketahui (telah hilang) atau dilupakan
oleh masyarakat pendukungnya.
Mitos merupakan sebuah cerita tentang
kejadian atau peristiwa alam dan kehidupan manusia yang mampu memberikan
pedoman dan arah tertentu kepada sikap sekelompok orang. Cerita tersebut dapat
dituturkan tetapi juga dapat diungkapkan
lewat kesenian seperti tari-tarian atau pementasan wayang. Inti cerita ini
merupakan lambang yang mencetuskan pengalaman manusia purba, yakni lambang
kebaikan, kejahatan, keselamatan, hidup atau mati, dosa dan penyucian,
perkawinan, kesuburan, firdaus dan akhirat. Jika manusia modern cenderung
menganggap mitos sebagai rangkaian peristiwa atau cerita yang menghibur maka
pada masyarakat tradisional mitos mempunyai makna yang lebih padat. Mitos
memberikan arah kelakuan manusia dan merupakan semacam pedoman atau norma bagi
kebijakan manusia. Lewat mitos manusia dapat turut serta mengambil bagian dalam
kejadian-kejadian di sekitarnya dan dapat pula menanggapi daya-daya kekuatan
alam.
Menurut Endraswara.[29]
Mite atau mitos adalah cerita suci berbentuk simbolik yang mengisahkan
serangkaian peristiwa nyata dan imaginer menyangkut asal-usul dan
perubahan-perubahan alam raya dan dunia, dewa-dewi, kekuatan-kekuatan atas
kodrati, manusia pahlawan, dan masyarakat, sehingga mitos mempunyai ciri
tersendiri. Ciri-ciri mitos antara lain:
a. Mitos sering memiliki sifat suci atau sakral, karena sering
terkait dengan tokoh yang sering dipuja.
b. Mitos hanya dapat dijumpai dalam dunia mitos dan bukan dalam
dunia kehidupan sehari-hari atau pada masa lampau yang nyata.
c. Mitos biasanya menunjuk pada kejadian-kejadian penting.
d. Keberadaan mitos tidak penting, sebab cakrawala dan zaman mitos
tidak terkait pada kemungkinan-kemungkinan dan batas-batas dunia nyata.
Mitos merupakan suatu peristiwa alam yang
memberikan pedoman dan mengandung nilai didik tertentu. Jadi peranan mitos merupakan
aturan yang dijadikan landasan atau pijakan dalam kehidupan manusia dalam
mencetuskan suatu gagasan, sehingga memberikan perubahan pada manusia. Oleh
karena itu mitos dipercaya ada tanpa dasar-dasar yang jelas dan masuk akal,
yaitu tentang kehidupan manusia baik berupa perilaku manusia maupun peristiwa
alam ghaib yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi
melalui lisan.
2)
Tradisi atau budaya
Kebudayaan memiliki keterkaitan yang
sangat erat dengan masyarakat, tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat begitupula
sebaliknya tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan. Menurut
Koentjaraningra[30]: Kebudayaan menurut ilmu antropologi
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.
Ruwatan merupakan peninggalan salah satu
sisi kehidupan masyarakat Jawa yang diadatkan (menjadi tradisi) karena di
anggap sakral. Kata ruwat sudah lama hidup dan ditemukan dalam karyasastra Jawa
kuno, misalnya dalam kitab Ramayana yang ditulis pada jaman Mataram kuno,
sekitar abad kesepuluh. Kata ruwat artinya “lepas”.10 Kata angruwat atau
rumuwat artinya membebaskan, exercise, misalnya membebaskan seseorang dari roh
jahat. Sering juga berarti “membebaskan, melepaskan, menyelamatkan”. Kata
rinuwat artinya “dibebaskan, dilepaskan, diselamatkan”.11
Ruwatan adalah upacara yang dilakukan
orang Jawa untuk menghindarkan diri dari nasib sial dan malapetaka terhadap
manusia-manusia tertentu yang diyakini memiliki bawaan nasib sial sejak lahir.
Manusia yang diyakini memiliki potensi malapetaka itu dalam istilah Jawa
disebut manusia sukerta. Sebagian manusia Jawa memiliki keyakinan bahwa orang
yang termasuk dalam kategori sukerta, dapat hidup normal dan jauh dari
malapetaka jika dibersihkan/dibebaskan melalui upacara tertentu, yang disebut
ruwatan. Manusia yang termasuk dalam ketagori sukerta tersebut dalam
kepercayaan Jawa mengalami nasib sial karena ia menjadi mangsa Bathara Kala,
satu tokoh dewa jahat yang dapat mencelakakan kehidupan manusia.
E.
Macam-macam mitos dalam masyarakat ungkalan
Mitos yang terjadi di ungkalan pada
dasarnya sangat banyak sekali. Akan tetapi yang dapat kami rekam hampir sama
dengan peneliti terdahulu, kami hanya memastikan kefalidan data tersebut
tentang adanya mitos-mitos yang ada di ungkalan. Diantaranya;
1)
Membuat acara ritual agar
penunggu desa tidak mengamuk dan membuang perkara yang buruk.
2)
Adanya mitos buaya putih
yang menjadi penunggu desa.
3)
Adanya kepercayaan yang
bersifat mistis; seperti; dibwanya salahsatu warga ungkalan kedalam dunia jin.
4)
Adanya slametan ketupat.
Ketupatnya digantung di atas pintu rumah dan hewan peliharaannya (sapi, kebo
dll). Agar di beri keselamatan.
5)
Adannya ratu adil dalam
desa.
6)
Maupun mitos-mitos yang
berbau tradisi lisan. Seperti; omongan-omongan orang jawa atau petuah jawa.
F.
Macam macam ruatan atau tradisi masyarakat ungkalan
Pada dasarnya ruatan dalam kacamata masyarakat adalah slametan,
dan slametan ini sangat banyak sekali. Baik slametan setelah hari raya,
membangun rumah, membangun pondas, melahirkan, tuju hari dan lain sebagainya.
Artinya, ruatan adalah sebagai ekpresi rasa sukur kepada sang maha cipta.
Diantaranya ruatan-ruatan yang bersinggungan dengan keseharian warga maupun
tradisi;
1) Ruatan ketika mengandung
2) Ruatan ketika melahirkan dan fase-fase perkembangannya
3) Ruatan ketika hari rauya idul adha maupun idul fitri
4) Serta ruatan bulan-bulan islam yang dianggap sakral di mata
masyarakakat. Seperti malam suro dan sa’ban.
5) Ruatan desa
6) Ruatan wayang
7) Maupuun ruatan santri
Hal ini, sebagaimana untuk memperingati
serti memberi rasa sukur dalam masyarakat serta warga yang lainnya. Maupun
untuk memberi keseimbangan serta memberi keharmnisan dalam masyarakat.
G.
Nilai-nilai dalam ruatan atau tradisi masyarakat ungkalan
Nilai- nilai yang terkandung dalam ruatan
sangat banyak sekali, ketika kita mau lebih jauh lagi memahami dan menggali
terkait dengan nilai-nilai dalam budaya orang jawa atau masysarakat ungkalan.
Setelah kami refleksikan, kami hanya mampu
menyaring beberapa nilai dalam tradisi masyarakat ungkala. Diantaranya;
1) Nilai dalam konteks keagamaan
Nilai dalam konteks keagamaan
maksudnya tersiratnya nilai-nilai keagaamaan dalam tradisi budaya orang jawa.
Sehingga, masyarakat jawa ketika memahami agama adalah fleksibel, artinya tidak
keras atau kaku.
2) Nilai dalam konteks edukasi atau pendidikan
Nilai dalam konteks edukasi
maksudnya, nilai atau pengajaran maupun pendidikan bisa di ajarkan melalui
adegan ketika ruatan wayang terlaksanakan. Seperti; cerita sejarah terkait
dengan sejarah-sejarah para penjajah maupun sejarah islam masuk di jawa.
3) Nilai dalam konteks sosial
Nilai sosial yang terkandung dalam
tradisi ini adalah nilai sosial yang berbentuk gotong royong, solidaritas,
saling menghormati dan menghargai satu sama lainnya.
H.
Tradisi masyarakat ungkalan dalam dunia modernisasi
Dalam dunia modernisasi pada saat ini,
mayoritas masyarakat beranggapan bahwasannya budaya atau tradisi yang telah
mengakar dalam jiwa bangsa indonesia terutama masyarakat jawa sudah mulai
terkikis dengan adanya desain baru dari bangsa luar. Baik melalui media maupun
melalui wacana yang lainnya, sehingga mampu mendoktin pola pikir masyarakat
menjadi liberal. Lebih lebihnya masyarakat kota yang beranggapan kolot terhadap
tradisi jawa dan jadul.
Tradisi pada masyarakat jawa pada dasarnya
memiliki banyak nilai-nilai yang terpendam. Atau memiliki pesan-pesan yang
terpendam dan belum bisa terseampaikan kepada masyarkat yang berbudaya.
Bertahannya budaya jawa bukan hanya karena
faktor eksternal saja. Melainkan faktor internal dan eksternal. Faktor internal
adalah yang berangkat dari jiwa warga masyarakat tersebut sendiri maupun dalam
sistemnya. Sedangkan caktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar
masyarakat tersebut. Dalam artian mereka (masyarakat luar) mau dan mampu
menghargai serta mengakui kebudayaan masyarakat jawa apa tidak.
Pada dasarnya bertahan atau kuatnya
tradisi masyarakat jawa itu bisa tenang dan kuat karena tidak bertentangan
dengan budaya islam memiliki nilai-nilai yang disampaikan dan memiliki pesan
serta nilai pendidikan yang diajarkan. Ketika melihat masyarakat ungkalan,
sudah nampak sedikit terkait dengan nilai-nilai dalam tradisi tersebut.
Sehingga mampu bertahan sampai sekarang tradisi yang telah mengakar di warga
ungkalan.
I.
Strategi dalam menghadapi globalisasi
Tidak dapat dibantah, arus globalisasi
yang berjalan dengan cepat menjadi ancaman bagi eksistensi budaya lokal.
Penggerusan nilai-nilai budaya lokal merupakan resiko posisi Indonesia sebagai
bagian dari komunitas global. Globalisasi adalah keniscayaan yang tidak dapat
dicegah, tetapi efeknya yang mampu mematikan budaya lokal tidak boleh dibiarkan
begitu saja.
Budaya lokal perlu memperkuat daya
tahannya dalam menghadapi globalisasi budaya asing. Ketidakberdayaan dalam
menghadapinya sama saja dengan membiarkan pelenyapan atas sumber identitas lokal yang diawali dengan krisis
identitas lokal. Memang, globalisasi harus disikapi dengan bijaksana sebagai
hasil positif dari modenisasi yang mendorong masyarakat pada kemajuan. Namun,
para pelaku budaya lokal tidak boleh lengah dan terlena karena era keterbukaan
dan kebebasan itu juga menimbulkan pengaruh negatif yang akan merusak budaya
bangsa. Menolak globalisasi bukanlah pilihan tepat, karena itu berarti
menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, yang dibutuhkan
adalah strategi untuk meningkatkan daya tahan budaya lokal dalam menghadapinya.
Berikut ini adalah strategi yang bisa dijalankan.
1) Pembangunan jati diri
Upaya-upaya pembangunan jati diri
bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya penghargaan pada nilai budaya dan
bahasa, nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan dan rasa cinta tanah air
dirasakan semakin memudar. Budaya lokal yang lebih sesuai dengan karakter
bangsa semakin sulit ditemukan, sementara itu budaya global lebih mudah merasuk.
Selama ini yang terjaring oleh masyarakat hanyalah gaya hidup yang mengarah
pada westernisasi, bukan pola hidup modern. Harus dipahami, nilai-nilai
kearifan lokal bukanlah nilai usang yang ketinggalan zaman sehingga
ditinggalkan, tetapi dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan
nilai-nilai modern yang dibawa globalisasi. Globalisasi yang tidak terhindarkan
harus diantisipasi dengan pembangunan budaya yang berkarakter penguatan jati
diri dan earifan lokal yang dijadikan
sebagai dasar pijakan dalam penyusunan strategi dalam pelestarian dan
pengembangan budaya. Upaya memperkuat jati diri daerah dapat dilakukan melalui penanaman
nilai-nilai budaya dan kesejarahan senasib sepenanggungan di antara warga.
Karena itu, perlu dilakukan revitalisasi budaya daerah dan penguatan budaya
daerah.
2) Pemahaman falsafah budaya
Sebagai tindak lanjut pembangunan jati
diri bangsa melalui revitalisasi budaya daerah, pemahaman atas falsafah budaya
lokal harus dilakukan. Langkah ini harus dijalankan sesegera mungkin ke semua
golongan dan semua usia berkelanjutan dengan menggunakan bahasa-bahasa lokal
dan nasional yang di dalamnya mengandung nilai-nilai khas lokal yang memperkuat
budaya nasional.
Karena itu, pembenahan dalam
pembelajaran bahasa lokal dan bahasa nasional mutlak dilakukan. Langkah penting
untuk melakukannya adalah dengan meningkatkan kualitas pendidik dan pemangku
budaya secara berkelanjutan. Pendidik yang berkompeten dan pemangku budaya yang
menjiwai nilai-nilai budayanya adalah aset penting dalam proses pemahaman
falsafah budaya.
Pemangku budaya tentunya juga harus
mengembangkan kesenian tradisional. Penggalakan pentas-pentas budaya di
berbagai wilayah mutlak dilakukan. Penjadwalan rutin kajian budaya dan
sarasehan falsafah budaya juga tidak boleh dilupakan. Tetapi, semua itu tidak
akan menimbulkan efek meluas tanpa adanya penggalangan jejaring antarpengembang
kebudayaan di berbagai daerah. Jejaring itu juga harus diperkuat oleh
peningkatan peran media cetak, elektronik dan visual dalam mempromosikan budaya
lokal.
3)
Penerbitan
peratudan daerah
Budaya lokal harus dilindungi oleh
hukum yang mengikat semua elemen masyarakat. Pada dasarnya, budaya adalah
sebuah karya. Di dalamnya ada ide, tradisi, nilai-nilai kultural, dan perilaku
yang memperkaya aset kebangsaan. Tidak adanya perlindungan hukum dikhawatirkan
membuat budaya lokal mudah tercerabut dari akarnya karena dianggap telah
ketinggalan zaman.
Karena itu, peraturan daerah (perda)
harus diterbitkan. Peraturan itu mengatur tentang pelestarian budaya yang harus
dilakukan oleh semua pihak. Kebudayaan akan tetap lestari jika ada kepedulian
tinggi dari masyarakat. Selama ini kepedulian itu belum tampak secara nyata,
padahal ancaman sudah kelihatan dengan jelas.
Berkaitan dengan itu, para pengambil
keputusan memegang peran sangat penting. Eksekutif dan legislatif harus bekerja
sama dalam merumuskan sebuah perda yang menjamin kelestarian budaya. Dalam
perda, perlu diatur hak paten bagi karya-karya budaya leluhur agar tidak
diklaim oleh negara lain. Selain itu, masalah pendanaan juga harus diperhatikan
karena untuk merawat sebuah budaya tentu membutuhkan anggaran meskipun bukan
yang terpenting. Anggaran itulah yang nantinya dimanfaatkan untuk bisa memberi
fasilitas secara berkelanjutan bagi program-program pelestarian budaya. Dalam
hal ini, pemerintah memegang peran paling besar.
Untuk memperkuat daya saing budaya,
pemerintah perlu membangun pusat informasi gabungan untuk pertunjukan seni,
pendirian dan pengelolaan promosi pertunjukan seni, pengembangan tenaga ahli
khusus untuk membesarkan anak yang berbakat seni, menggiatkan sumbangan
pengusaha di bidang seni, penghargaan untuk pertunjukan seni budaya,
peningkatan kegiatan promosi tentang produk budaya.
4)
Pemanfaatan
teknologi
Keberhasilan budaya asing masuk ke
Indonesia dan memengaruhi perkembangan budaya lokal disebabkan oleh
kemampuannya dalam memanfaatkan kemajuan teknologi informasi secara maksimal.
Di era global, siapa yang menguasai teknologi informasi memiliki peluang lebih
besar dalam menguasai peradaban dibandingkan yang lemah dalam pemanfaatan
teknologi informasi. Karena itu, strategi yang harus dijalankan adalah
memanfaatkan akses kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai
pelestari dan pengembang nilai-nilai budaya lokal.
Budaya lokal yang khas dapat menjadi
suatu produk yang memiliki nilai tambah tinggi apabila disesuaikan dengan
perkembangan media komunikasi dan informasi. Harus ada upaya untuk menjadikan
media sebagai alat untuk memasarkan budaya lokal ke seluruh dunia. Jika ini
bisa dilakukan, maka daya tarik budaya lokal akan semakin tinggi sehingga dapat
berpengaruh pada daya tarik lainnya, termasuk ekonomi dan investasi. Untuk itu,
dibutuhkan media bertaraf nasional dan internasional yang mampu meningkatkan
peran kebudayaan lokal di pentas dunia.
KESIMPULAN
Pada dasarnya di dalam tradisi atau
upacara-upacara adat mengandung unsur mistis. Secara mitologis mayoritas
acara-acara ruatan tersebut mengandung unsur megis. Serta memiliki pesan-pesan
yang mau disampaikan kepada warga masyarakat. Dalam artian adanya budaya atau
tradisi itu karena adanya cerita-cerita mistis atau secara mitologi.
Dalam masyakrat ungkalan banyak sekali
mitos yang telah menjadi tradisi lesan di wajah masyarakat ungkalan. Seperti
mitos buaya putih, danyan, penjaga desa, mitosnya nyiroro kidul maupun mitos
yang memiliki nilai kesosialan dalam masyarakat, dan lain sebagainya.
Nilai yan g terkandung dalam budaya,
seperti yang telah kami sampaikan secara singkat dalam pembahasan. Seperti;
1) nilai keagamaan
2) nilai pendikan
3) dan nilai sosial masyarakat
bertahan atau kuatnya tradisi masyarakat
jawa itu bisa tenang dan kuat karena tidak bertentangan dengan budaya islam
memiliki nilai-nilai yang disampaikan dan memiliki pesan serta nilai pendidikan
yang diajarkan. Ketika melihat masyarakat ungkalan, sudah nampak sedikit
terkait dengan nilai-nilai dalam tradisi tersebut. Sehingga mampu bertahan
sampai sekarang tradisi yang telah mengakar di warga ungkalan.
Untuk menanggapi dari adanya pengaruh
globalisasi, kiranya ada empat poin. Diantaranya:
1) pembangunan jati diri
2) pemahaman falsafah budaya
3) penerbitan peraturan daerah
4) pemanfaatan teknologi informasi
hal ini kalaupun tidak berjalan dengan
lancar dan sinergis pastinya tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal atau
hasil yang diinginkan. Dalam artian budaya atau tradisi tersebut akan mudah
pudar.
KRITIK
DAN SARAN
Tidak seharusnya ketika sudah mengenal
dunia moderen masyarakat maupun masyarakat luas menghapus tradisi atau budaya
indonesia yang telah mengakar di jiwa warga bangsa indonesia, terutama orang
jawa.
Hal ini, pada dasarnya mereka (orang jawa)
kurang mengakui dan diakui terkai denga budaya yang mereka lestarikan. Serta
tidak ada pengakuan dari pemerintah sekitar yang mampu melestarikan serta
menyampaikan pesan-pesan yang terkandung dalam tradisi orang jawa,
DAFTAR PUSTAKA
-
Ratna,Nyoman Khutha. 2004. “teori, metode dan teknik penelitian sastra: dari strukturalisme
hingga postrukturalisme”.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
-
Masinambow. 2004. Semiotik:
Kumpulan Makalah Seminar. (Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Budaya Lembaga Penelitiaan Universitas Indonesia).
-
Moleong,Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian
Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosdakarya).
-
Mahmud. 2011. Metode Penelitian Pendidikan.(Bandung:
CV Pustaka Setia).
-
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan
Pendekatan Kuantitatif. Kualitatif, dan R & D. (Bandung: Alfabeta).
-
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek.. (Jakarta: Rineka Cipta).
-
Syaodih, Nana. 2007metode penelitian pendidikan,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya).
-
Moleong, Lexy J. 2002. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek.. (Jakarta: Rineka Cipta).
-
STAIN Jember. 2009. Penulisan Karya Imiah: Makalah,
Proposal, dan Skipsi. (Jember: STAIN Jember).
-
Milles, M.B. AM.. 1992. analisis data kualitatif,T erjh Rohidi RT. ( jakarta: UIN Press).
-
Sugiono, metode
penelitian kuantitatif dan kualitatif dan R dan D, (bandung: alfabeta).
-
Zulfahnur, Zf. Dkk.
1997. Teori Sastra, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan).
-
Endraswara, Suwardi. 2006. Falsafah Hidup Jawa,
(Tangerang: Cakrawala).
-
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi.
(Jakarta: PT Rineka Cipta).
[1]
Nyoman Khutha Ratna, “teori, metode dan
teknik penelitian sastra: dari strukturalisme hingga postrukturalisme”,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004),hlm. 67.
[2] Masinambow, Semiotik:
Kumpulan Makalah Seminar, (Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya
Lembaga Penelitiaan Universitas Indonesia, 2004),hlm.11.
[3] Pak sadik: beliau adalah penjaga jembatan
kayu, sebagaimana jalan untuk menuju keladang atau pantai.
[4]
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004),hlm.3.
[5]
Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011),
3
[6]
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2010), 300.
[7] Suharsimi Arikunto. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. (Jakarta: Rineka Cipta 1998). Hlm.
133.
[8]
Lexy J. Moleong,
Metodologi Penelitian Kualitatif, 2004,hlm.125.
[9]
Nana Syaodih, metode penelitian pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2007),hlm. 112.
[10]
Ibid,,hlm,204
[11] J Lexy Moleong. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. (Jakarta: Rineka Cipta. 2002).hlm.248
[12]STAIN Jember. Penulisan Karya Imiah: Makalah,
Proposal, dan Skipsi. (Jember: STAIN Jember. 2009).hlm.16
[13]
Milles, M.B. AM., analisis data
kualitatif,T erjh Rohidi RT,( jakarta: UIN Press, 1992), hlm. 89.
[14]
Sugiono, metode penelitian kuantitatif
dan kualitatif dan R dan D, (bandung: alfabeta), hlm .241
[16]
Ibid,hlm. 331
[17]
Hasil wawancara dengan mbah muji(06 november 2013), wawancara ini dilakukan
oleh alumni IAIN Jember yang pernah melakukan riset disana. Samsul arifin,
S.Pd.I.
[18]
Beliau adalah putrakandung dari mbah ponimin dan buk mojinem yang lahir pada
tahun 1949, (21 november 2013). Wawancara ini dilakukan oleh samsul arifin
alumni IAIN Jember
[19]
Katanya bu wati atau di juluki bu pojok yang memiliki warung di pinggir
perempatan, dekat sekolah dasar di ungkalan.
[20]
Pak priadi ini adalah orang atau narasumber yang pernah mengalami kejadian
diluar nalar pikir manusia, rumahnya pak
priadi terletak di depan rumahnya bu watik dekat perempatan agak kebarat
sedikit.
[21]
Diceritakan oleh bu watik pada tanggal 15 november 2015 jam 08:00 wib.
[22]
Hasil wawancara pak mashuri, 10 november 2013. Yang dilakukan oleh alumni IAIN
Jember yang bernama Anwari Nuris, S.H.I. pada waktu riset di ungkalan tahun
2013 yang lalu.
[23]
Katanya pak suprapto selaku kasun disana
[24]
Ustad nur adalah salah satu informan kami, beliau merupakan pengasuh madrasah
al hidayah yang ada di ungkalan.
[25]
Hasil wawancara dengan pak imam mustaqim bersama sahabat dzul kifli, 19
november 2015, jam 20:00 wib.
[26]
Pak misnadi adalah salah satu warga ungkalan yang setiap kali ada acara ruatan
desa, ruatan wayang maupun ruatan
lainnya, yang membuatkan alat-alat ruatan adalah pak misnadi. Seperti cangkul;
brujul dan garu. Rumahnya pak misnadi terletak di dekat SDN 2 ungkalan baratnya
bu wati atau bu pojok. 16 november 2015.
[27]
Mbah sadik adalah salah satu warga yang selalu menjaga jembatan tiap hari.
Jembatan iin yang membangun adalah mbah sadik sendiri sebagaimana jembatan ini
untuk jalan menyeberangi sungai mati. Wawan cara pada tanggal 20 november 2015.
[28]
Zulfahnur, Zf. Dkk, Teori Sastra, (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan,1997), hlm.27.
[29]
Endraswara, Suwardi, Falsafah Hidup Jawa, (Tangerang:
Cakrawala, 2006), hlm.193-194.